Kredit Yang Halal Dalam Islam, Muslim Wajib Tahu!

Kredit yang halal dalam islam, seperti apa? Kredit adalah transaksi perniagaan yang dilakukan oleh pemilik barang dan pembeli. Secara syariat, praktek kredit atau hutang-piutang masih diperbolehkan karena akad kredit berbentuk hutang.

Hal ini dijelaskan secara gamblang dalam Al Qur’an:

Ayat Alquran tentang kredit yang halal dalam islam

Tak hanya dalam firman Allah, Hadits riwayat ‘Aisyah Radhiallaahu ‘anha juga menguatkan bahwa melakukan kredit atau hutang adalah boleh sebagaimana berikut:

Hadits tentang dibolehkannya kredit dalam islam

Dalam hadits tersebut, Nabi Muhammad SAW pernah membeli bahan makanan dengan cara berhutang terlebih dahulu. Namun, beliau memberikan perisainya sebagai jaminan dan menggadaikannya demi bahan makanan tersebut.

Tak heran jika saat ini kredit menjadi salah satu cara yang dilakukan hampir setiap orang. Apalagi, tidak sedikit lembaga yang mendukung dengan menawarkan kemudahan dan fasilitas.

Selain dianggap meringankan dan memberikan semangat untuk terus bekerja keras karena adanya tanggungan atau kewajiban yang harus dilunasi dalam jangka waktu tersebut. Akan tetapi, ada beberapa hal yang Muslim wajib tahu tentang bagaimana kredit yang halal dalam islam jika dilihat dari syariat dan tata caranya.

Islam memperbolehkan seseorang melakukan sistem kredit jika tidak merugikan satu pihak. Kredit sendiri juga banyak jenisnya, termasuk kredit rumah KPR. Berikut informasi yang harus disimak terlebih dahulu agar tahu bagaimana kredit yang tepat dan halal dalam agama Islam.

Baca Juga:

Hukum-Hukum Kredit Yang Halal Dalam Islam

Berikut adalah beberapa syarat kredit yang halal dalam islam dengan berbagai syarat berdasarkan syariat islam.

1. Disertai Dengan Pencatatan Yang Jelas

Pencatatan akad yang jelas dalam kredit

Dari firman dan hadits di atas menunjukkan bahwa, sistem kredit yang benar dalam islam adalah dengan melakukan pencatatan serta kesepakatan yang sudah jelas bagi kedua pihak. Selain itu, kredit harus dilakukan dengan memberikan keuntungan bagi penjualnya, namun tidak merugikan atau memberatkan pembelinya.

Kredit sangat penting dilakukan dengan bukti pencatatan pembayaran yang diberikan serta beberapa kecurangan yang harus dibayarkan. Penjual juga tidak diperbolehkan melakukan praktek seperti meminta bunga ketika pembelit terlambat membayar.

Kedua belah pihak wajib menjalankan kredit dengan sebaik mungkin. Pembeli harus membayar berdasarkan waktu yang telah ditentukan. Jika pembeli mengingkari, maka dosa baginya.

Sedangkan jika penjual melebihkan untung tanpa sepengetahuan pihak pembeli dan memaksa membayar padahal belum waktunya, hal ini juga merupakan dosa.

2. Tidak Ada Riba

Apa yang dimaksud tidak boleh ada transaksi yang mengandung riba? Contoh kecilnya, Anda dapat menukarkan emas dengan emas lainnya, perak dengan perak lainnya, kurma dengan kurma lainnya, selama ukurannya adalah sama dan dilakukan dengan tunai atau cash.

Jika tidak memenuhi dua syarat tersebut, maka transaksi yang dilakukan tergolong riba. Sebagaimana diriwayatkan oleh HR Muslim bahwa jika Anda mengambil barang dengan jenis yang berbeda tapi dalam satu kelompok, sebaiknya ditukar sesuai yang dikehendaki namun harus dilakukan secara cash.

Tak hanya itu, jual beli yang dilakukan secara hutang dengan hutang sangatlah dilarang. Kredit apapun yang berhubungan dengan uang tidak dapat disebut jual beli, namun tergolong riba.

3. Tentukan Ukuran dan Batas Waktu Secara Jelas

Barang siapa yang membeli dengan cara memesan, sebaiknya ia memesan dengan takaran serta timbangan yang jelas, dan sampai batas waktu yang jelas pula.” Hadits diatas diriwayatkan oleh HR. Bukhari: 2240 dan Muslim: 1604.

Hal ini juga dapat dijadikan pegangan oleh Muslim dalam melakukan jual beli Kredit Angsuran Berjangka. Akan tetapi, hal ini masih menjadi perdebatan dikalangan Ulama’, karena Rasulullah SAW pernah melakukan transaksi jual beli yaitu dengan menunda waktu pembayaran.

Sebagaimana disampaikan oleh ‘Aisyah R.A: “Bahwasanya Rasulullah SAW Pernah membeli makanan seorang Yahudi dengan pembayaran tertunda dan menggadai kan baju besinya sebagai gadai.”

Hadits di atas diriwayatkan oleh H.R. Bukhari: 2134. Makanan atau barang boleh kredit asal dengan ukuran dan batas waktu pembayaran yang jelas. Bagaimana dengan kisah Rasulullah yang tertunda dalam membayar makanan sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas?

Hal ini tentu diperbolehkan, karena Rasulullah telah menyediakan baju besinya untuk digadaikan. Kesepakatan tersebut juga telah dicapai oleh dua pihak.

4. Jika Pembayaran Tertunda, Tidak Boleh Ada Penambahan Harga

Ada suatu saat ketika Rasulullah S.A.W. memerintahkan kaumnya untuk menyiapkan satu pasukan. Dalam kondisi tersebut, umat Muslim belum memiliki tunggangan. Apa yang dilakukan Rasulullah selanjutnya adalah dengan memberikan mandat kepada Abdullah bin Amer bin Al’Ash untuk segera membeli tunggangan dengan cara pembayaran ditunda sampai waktunya penarikan zakat.

Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash pun langsung menjalankan perintah Rasulullah S.A.W. untuk membeli setiap ekor seharga dua ekor unta, namun akan dibayar ketika penarikan zakat telah tiba.

Dalam kisah tersebut, tentulah Rasulullah membayar hingga 200% harga satu ekor unta. Hal ini diperbolehkan karena Rasulullah S.A.W. tidak melakukan pembayaran secara tunai. Apakah ini dapat dikatakan sebagai kredit yang halal dalam islam ?

Jadi, jika ada penambahan harga karena hutang karena pembayarannya tertunda, maka itu diperbolehkan. Bagaimana penambahan harga yang tidak diperbolehkan? Yaitu ketika ada kelambatan atau permasalahan proses pembayaran yang membuat penjual kesal dan menambahkan harga.

Melakukan hal tersebut tentu dapat diartikan riba. Jika hal tersebut terjadi, maka diharuskan membuat akad perjanjian jual beli baru. Selain itu, pembeli tidak boleh secara sengaja mengulur-ulur waktu padahal kondisinya sangat mampu.

5. Tidak Boleh Diperjualbelikan

Dari sahabat Ibnu Umar, mengisahkan: Suatu hari saya beli minyak di pasar. Setelah membeli, seorang lelaki mendekati dan menawarkan minyak tersebut. Ia memberikan keuntungan cukup banyak, dan aku hendak menerima tawaran tersebut. Akan tetapi, muncul seseorang yang memegang tangannya dari belakang. Lelaki tersebut adalah Zaid bin Tsabit.

Ia pun mengatakan:“Janganlah engkau jual minyak tersebut di tempat engkau membelinya, sehingga engkau pindah kan ke tempatku. Rasulullah S.A.W. melarang menjual kembali barang-barang di tempat kamu membeli barang tersebut, sehingga barang tersebut harus dipindahkan para pedagang ke tempat mereka masing-masing” (Hadits Riwayat Abu Dawud dan Al Hakim.

Misalnya: Jika seseorang membeli suatu barang kredit sekitar Rp. 300.000 per bulan, lalu ia sengaja menjualnya ke orang lain dengan harga yang lebih mahal sehingga angsurannya lebih besar, padahal barang tersebut ternyata sama, hal itu tidak jauh beda dengan jual beli ala rentenir.

Hal ini dikarenakan malah merugikan pihak pembeli dan menguntungkan pihak penjual lebih banyak. Sehingga, niat untuk membantu orang lain menjadi hilang.

Penutup

Demikian penjelasan tentang kredit yang halal dalam islam. Solusi tepat dalam kredit yang halal adalah menghindari adanya unsur riba. Riba menjadikan transaksi tidak akan diberkahi Allah.

Cara transaksi yang tepat adalah dengan membeli langsung dari pemiliknya, sehingga tidak menggunakan pihak ketiga. Jika solusi seperti ini terasa sangat sulit untuk diterapkan karena alasan tertentu, tidak ada jalan lain untuk bersabar, karena itu lebih baik ketimbang melanggar hukum yang sudah ditetapkan oleh Allah SWT. Semoga bermanfaat!